Sejarah Subud mulai di sekitar tahun 1925, ketika almarhum R. M. Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo secara tak terduga dijamah dengan hebat oleh kekuasaan Tuhan. Kontak dahsyat ini disusul dengan masa tiga tahun yang ditandai gejolak luar biasa di dalam jiwanya.
Pada akhir masa itu, doanya terkabul dengan diperolehnya petunjuk bahwa karunia yang telah diterima beliau tidak hanya untuk dirinya sendiri dan dapat dibagi-bagikan kepada siapa saja yang berminat. Hanya disyaratkan bahwa anggota tidak boleh dicari-cari. Perlu menunggu kedatangan para peminat atas prakarsa mereka sendiri.
Mula-mula kontak itu hanya disampaikan kepada anggota keluarga dan tetangga dekat, tetapi lama kelamaan ternyata ada peminat yang datang dari lain-lain tempat di Indonesia untuk menerima kontak, dan lambat laun anggota-anggota tertentu pada gilirannya juga diizinkan menyampaikan kontak kepada para peminat.
Nama Subud tidak mempunyai hubungan langsung dengan nama pribadi Bapak Subuh. Subud merupakan singkatan tiga kata Sanskerta, yaitu Susila, Budhi, dan Dharma. Di dalam Subud ketiga kata tersebut ditafsirkan sebagai berikut: Susila berarti budi pekerti manusia yang baik, sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Budhi berarti daya kekuatan diri pribadi yang ada pada diri manusia. Dharma berarti penyerahan, ketawakalan, dan keikhlasan terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah kontak dengan daya atau kekuatan Tuhan (Budhi) diterimanya, pelatih menyerah kepada bimbingan Tuhan (Dharma), dan, dengan demikian, dituntun kepada budi pekerti yang utama (Susila). Bimbingan Tuhan seperti itu dialami baik di dalam latihan kejiwaan maupun di dalam kehidupan sehari-hari.
Nama Subud mulai dipakai pada tahun 1947, dan sejak tahun 1956 latihan kejiwaan Subud mulai menyebar ke hampir seluruh dunia. Karena sama sekali tidak mencari publisitas, Subud semata-mata menjalar melalui pengenalan dan keteladanan pribadi.
Hanya, setelah terbitnya beberapa buku tentang Subud, karangan perseorangan, cukup banyak pembaca menemui di dalamnya sesuatu yang sedang mereka dambakan, secara sadar atau di bawah sadar, sehingga terbangkitlah hasratnya untuk masuk Subud.
Mulai dari tahun 1957 sampai dengan wafatnya pada tahun 1987, Pak Subuh (panggilan akrabnya) banyak bepergian ke luar negeri. Mula sekali–lawatan pertamanya ke luar Indonesia–atas undangan mereka beliau mengunjungi selama beberapa bulan sekelompok kecil anggota Inggris yang telah menerima kontak melalui seorang Eropa yang pernah beberapa lama tinggal di Indonesia. Selama separuh kedua tahun 1957, ratusan orang masuk Subud, banyak di antaranya warga Afrika, Australia, dan Amerika, serta negeri-negeri lain di Eropa, dan mereka pun mengundang Bapak Subuh untuk mengunjungi negerinya masing-masing.
Penyampaian kontak Subud tidak memerlukan kehadiran Bapak Subuh pribadi. Di negeri-negeri tempat didirikan cabang Subud, maka banyak anggota, pria dan wanita, yang diizinkan mewakili Bapak sebagai Pembantu Pelatih. Para Pembantu Pelatih belum tentu orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi–meskipun, setelah 40 atau 50 tahun melakukan latihan Subud, tentu ada orang yang telah mencapai perkembangan rohani yang cukup memuaskan.
Pembantu Pelatih dipilih dari para anggota yang pengalaman kejiwaannya memadai. Sebelum wafatnya, Bapak Subuh sendiri mengangkat semua Pembantu Pelatih. Sekarang Pembantu Pelatih baru diangkat oleh sekelompok Pembantu Pelatih dengan nama Dewan Pembantu Pelatih Internasional yang mengabdi selama periode tertentu. Yang dibenarkan bertindak sebagai Pembantu Pelatih hanya mereka yang resmi diangkat oleh Bapak Subuh atau Dewan Pembantu Pelatih Internasional.
Di dalam Subud Bapak Subuh tidak berfungsi sebagai guru atau penguasa, melainkan sebagai pemimpin kejiwaan yang hanya membimbing para anggota dan memberi keterangan serta nasihat yang dimintanya. Seluruh ajaran yang dibutuhkan manusia telah tersedia, tuturnya, dalam agama-agama besar. Subud tidak bermaksud memisahkan manusia dari agamanya, malah kebalikannya.
Subud, melalui proses pembersihan diri, memungkinkan para anggotanya mengamalkan ajaran agama masing-masing, karena lambat laun mereka dapat menjadi manusia sejati sesuai dengan kehendak Tuhan.